Dear, Anakku,
anakku yang kini tengah beranjak dewasa,
anak perempuanku yang mukanya bersemu merah ketika melihat seseorang,
anak perempuanku yang mukanya bersemu merah ketika melihat seseorang,
anak lelakiku yang tak lupa mencuri pandang ketika berpapasan dengan seseorang.
Dear, Anakku,
anakku tersayang yang tengah mencari jalan menuju dewasa,
anakku yang sering kali mencerna makna lewat tulisan teman sebaya,
anakku yang lebih percaya pada perkataan teman sebaya.
anakku yang sering kali mencerna makna lewat tulisan teman sebaya,
anakku yang lebih percaya pada perkataan teman sebaya.
Dear, Anakku,
yang saat ini dunianya dipenuhi ribuan kata cinta,
baik dari perkataan dan tulisan,
seolah-olah cinta adalah gelombang,
yang siap menghempasmu kapan saja,
ketika kau berdiri di bibir pantai (atau dalam hal perasaan, kau berada di ujung kesadaran).
yang saat ini dunianya dipenuhi ribuan kata cinta,
baik dari perkataan dan tulisan,
seolah-olah cinta adalah gelombang,
yang siap menghempasmu kapan saja,
ketika kau berdiri di bibir pantai (atau dalam hal perasaan, kau berada di ujung kesadaran).
Dear, Anakku,
yang mungkin saat ini sibuk dengan pesan-pesan di dunia maya bertabur kata cinta,
kepada seseorang yang dianggapnya istimewa,
yang memberikan bunga, yang menjanjikan harapan masa depan,
yang ‘menurutnya’ memberikan sandaran.
yang mungkin saat ini sibuk dengan pesan-pesan di dunia maya bertabur kata cinta,
kepada seseorang yang dianggapnya istimewa,
yang memberikan bunga, yang menjanjikan harapan masa depan,
yang ‘menurutnya’ memberikan sandaran.
Dear, Anakku,
tidakkah kau kenyang jika terlalu banyak makan?
Lantas mengapa kau tidak pernah ‘kenyang’ ketika menikmati perasaan yang kau sebut cinta itu?
Kalau kau tidak pernah ‘kenyang’, bukankah yang kau rasakan hanya segumpal asap?
Ia kosong, Anakku, maka pikirkan lagi kekosongan yang kau sebut sebagai cinta itu.
tidakkah kau kenyang jika terlalu banyak makan?
Lantas mengapa kau tidak pernah ‘kenyang’ ketika menikmati perasaan yang kau sebut cinta itu?
Kalau kau tidak pernah ‘kenyang’, bukankah yang kau rasakan hanya segumpal asap?
Ia kosong, Anakku, maka pikirkan lagi kekosongan yang kau sebut sebagai cinta itu.
Baiklah, sebelum kau muak dengan kata-kata ‘Dear, Anakku’ itu, izinkan bunda yang sudah lama tidak menulis ini, mengguratkan sebuah pena agar kau mengetahui sesuatu. Sebelum terlalu banyak kisah ‘cinta’ yang kau mimpikan, izinkan bunda menceritakan sesuatu.
Dulu, bunda tidak mengerti tentang apa itu cinta. Seiring dengan berjalannya kehidupan bunda di dunia, perasaan cinta itu mulai tumbuh. Tahukah kau mengapa ia tumbuh? Ia tumbuh karena kehangatan, kebaikan, dan kasih sayang yang diberikan oleh kakek dan nenekmu. Ketika bunda menangis minta permen (padahal bunda tidak boleh makan permen), nenek datang dan mengajak bunda untuk memanggang kue.
Ketika bunda terjatuh dari sepeda roda dua, kakek datang dan memasangkan dua buah roda bantu. Ketika bunda menginginkan baju baru, nenek diam-diam menabung dan di akhir bulan, ia membelikan baju itu untuk bunda. Ketika bunda menginginkan sepatu baru, kakek menghadiahinya untuk bunda, meskipun harus berpuasa beberapa hari.
Bunda telah jatuh cinta pada kakek dan nenekmu sejak dulu. Bunda telah jatuh cinta pada nenekmu, yang begitu bijak menyikapi kenakalan masa remaja bunda. Bunda telah jatuh cinta pada kakekmu, yang bersusah-payah mencari uang, demi membayar pendidikan bunda…
Di tahap selanjutnya kehidupan bunda, bunda telah jatuh cinta pada ayahmu. Tahukah kau mengapa ia tumbuh? Ia tumbuh ketika bunda menyaksikan seorang lelaki yang begitu berani, mengikatkan tali-yang-kuat atas nama Allah di depan kakekmu. Ia tumbuh, sesaat setelah semua perasaan itu bukanlah menjadi masalah. Ia tumbuh dan semakin kuat ketika bertahun-tahun bunda menjalani kehidupan bersamanya. Kami bersama, berusaha melunasi cicilan rumah. Kami bersama, shalat berjamaah di hari-hari hujan. Kami bersama, cemas panik dan bahagia ketika menyambut kelahiran bayi pertama. Kami bersama, menjadi pasangan terbahagia kala menyaksikan dirimu berjalan tertatih dengan kaki-kaki mungilnya.
Kami bersama, khawatir akan biaya pendidikanmu yang semakin mahal. Kami bersama, diam-diam di kala engkau tertidur, datang mencium keningmu (karena kau sudah tak lagi mau dicium), berbisik lirih, memanjatkan doa agar kau tetap menjadi anak yang shalih/shalihah. Kami bersama, mendiskusikan rencana kehidupanmu di masa depan, pendidikanmu, kesehatanmu, moralmu, akhlakmu… Kami bersama memikirkanmu semata-mata kau lah titipan Allah untuk kami.
Kau lah tanggung jawab kami, Anakku. Kau pun yang akan menjauhkan kami kelak dari api neraka jikalau doa-doamu untuk kami tersampaikan dengan tulus. Kami bersama untuk dirimu dan semua kebersamaan itu membuat bunda jatuh cinta.
Ketika bunda jatuh cinta pada ayahmu, rasanya seluruh semesta mendoakan kami di atas rumah mungil ini.
Ketika bunda jatuh cinta, tahukah kau pada siapa bunda jatuh cinta lagi?
Ketika bunda jatuh cinta, tahukah kau pada siapa bunda jatuh cinta lagi?
Pada tangisanmu di malam hari, Anakku.
Malam-malam pertama hidupmu, bunda menungguimu bergantian dengan ayah, khawatir kau menangis, mengompol, lapar, haus, kedinginan… khawatir, tiba-tiba bayi mungil ini tidak menangis lagi. Bunda jatuh cinta pada tangisanmu yang menandakan bahwa kau kecil tetap bergeliat hidup di dunia ini. Kau kecil tengah menempuh masa-masa terhebat beradaptasi dengan dunia ini. Kau kecil… membuat bunda jatuh cinta.
Cinta itu tumbuh begitu saja. Ia mengalir, mengalir melalui dinding rumah tempat kau bersandar ketika belajar berjalan, dinding rumah sebagai “papan tulis” pertamamu. Ia mengalir melalui air hangat yang tiap pagi dan sore bunda gunakan untuk memandikanmu. Bahkan ia mengalir melalui tangisan-tangisanmu, tangisan yang menandakan kau membutuhkan sosok bunda.
Bunda jatuh cinta pada dirimu, Anakku.
Ketika gigi-gigimu mulai tumbuh, kau belajar makan sendiri. Kau makan berantakan, ayah membersihkan. Kau terbalik menggunakan sendok, bunda membetulkan. Itu sungguh proses yang menjadikan cinta bunda semakin besar.
Ketika gigi-gigimu mulai tumbuh, kau belajar makan sendiri. Kau makan berantakan, ayah membersihkan. Kau terbalik menggunakan sendok, bunda membetulkan. Itu sungguh proses yang menjadikan cinta bunda semakin besar.
Bunda jatuh cinta pada dirimu, dirimu yang… ah, bagaimana bunda mengatakannya, mengingatnya saja sudah membuat bunda mengharu-biru. Ketika kau mengucapkan dengan sempurna kata “ayah” dan “bunda”, kami berdua menangis. Lantas kau melakukan keajaiban lagi, kau mencium pipi kami dan membisikkan “aku sayang ayah” dan “aku sayang bunda”. Aneh ya, Anakku, ketika kekasihmu mengatakan “aku sayang kamu”, apakah kamu menangis? Ah, paling-paling kau hanya tersenyum GR.
Bunda tidak yakin apakah kau mengingat saat itu. Dulu, ketika kau bermain di taman kanak-kanak, bermain ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, bunda tersenyum. Sungguh perasaan ini begitu sederhana: bahagia melihat tawa riangmu, melihat kau bersama anak lelaki lain berlomba mencapai ayunan tertinggi atau melihatmu yang begitu mencolok dengan jepitan merah dan kepang duamu. Lalu, kau tahu? Perasaan khawatir itu, ketika kau jatuh dari perosotan, lecet, berdarah, bunda begitu khawatir hal yang buruk akan terjadi.
Bunda telah jatuh cinta pada dirimu. Kau menarik-narik rok bunda di hari pertama masuk SD. Kau tidak berani masuk kelas dengan bangku dan meja yang tinggi. Mana meja warna warni itu? Mana burung-burung kertas itu? Kenapa di sini hanya ada foto orang-orang zaman dahulu dan foto warna hijau dan biru yang tidak jelas? (belakangan kau ketahui itu peta). Kau minta bunda menemanimu sepanjang hari itu. Bunda tidak keberatan. Bunda menungguimu sampai bel pulang di bunyikan dan kau telah mendapat beberapa teman baru, lantas lupa kalau sebenarnya bunda menungguimu.
Bunda jatuh cinta pada dirimu, yang mengangkat tinggi-tinggi kertas hasil ujianmu, bertuliskan angka ’100′. Kau menagih janjimu untuk diajak jalan-jalan ke kebun binatang. Bunda ingat, ayah menyembunyikan sepasang baju baru di lemarimu. Kau kaget dan bertanya, “Baju siapa ini, Bunda?” Dengan riang bunda menjawab, “Hadiah dari Allah karena kakak udah jadi anak baik baik dan rajin.” Kau begitu riang, melihat hewan-hewan, meminta jajan ini-itu. Bunda senang, sangat sederhana perasaan itu, Nak, melihat kau tertawa riang.
Cinta itu semakin membesar, ia telah membengkak di hati bunda, mengkristal, dan menjadi berkah. Allah telah menjadikan surgamu itu di bawah telapak kaki bunda, Nak.
Ketika kau menjerit memasuki saat-saat pubertasmu, bunda menemanimu. Ketika kau sakit sehabis pergi berkemah bersama teman-teman SMPmu, bunda menemanimu. Bunda berjaga sepanjang malam, tertidur di samping tempat tidurmu. “Bun… kakak haus…” Bunda ambilkan minum. “Bun… kakak lapar…” Bunda suapi kau dengan bubur hangat perlahan. “Bun… punggung kakak pegal…” Bunda pijiiti kau. “Bun…” kau belum sempat meneruskan perkataanmu, kau terlanjur muntah di tempat tidur malam itu. Kau menangis, badanmu panas, menggigil.
Bunda membersihkan tempat tidurmu, ayah menyelimutimu. Tapi, sesuatu yang kau anggap “merepotkan” itu bagi bunda adalah sebentuk ungkapan cinta. Ungkapan cinta, Anakku, semoga kau mengerti, bahwa bunda begitu mencintai dirimu.
Bahkan ketika di kemudian hari kau berpura-pura sakit agar bisa bolos sekolah, bunda tetap menyuapimu dengan bubur hangat itu. Selalu.
Ketika kau memasuki usia 17, tingkah lakumu semakin tak bunda mengerti. Mengapa anakku? Ketika kau tiba-tiba membentak bunda? Kenapa kau tiba-tiba berkata kasar pada ayah dan bunda? Apakah karena makanan buatan bunda tidak enak? Atau karena seragammu masih kusut?
Atau karena bunda selalu menanyakan keberadaanmu ketika sampai jam 8 malam kau tidak kunjung pulang? Atau karena bunda tidak dapat membelikanmu barang-barang mewah? Atau karena bunda tidak membelikanmu pulsa untuk telepon genggammu? Atau karena bunda tidak keren seperti bunda teman-temanmu? Tidak apa-apa, Anakku, asalkan kau masih tetap mencintai bunda, asalkan kau masih tetap mendoakan bunda.
Cinta bunda padamu telah mengkristal, Anakku, ia tak mudah luruh, dan tak akan bisa luruh.
Ketika bunda jatuh cinta, jatuh cinta pada dirimu yang kini telah menjadi seorang mahasiswa di sebuah universitas ternama. Sungguh, bunda sangat bangga ketika kau mengirimkan fotomu dengan jaket kebanggaan almamater bersama teman-teman seperjuanganmu. Bunda mengelus foto itu.
Ketika bunda jatuh cinta, jatuh cinta pada dirimu yang kini telah menjadi seorang mahasiswa di sebuah universitas ternama. Sungguh, bunda sangat bangga ketika kau mengirimkan fotomu dengan jaket kebanggaan almamater bersama teman-teman seperjuanganmu. Bunda mengelus foto itu.
Kau begitu jauh, Anakku, kau telah belajar di tanah yang sebelumnya tak pernah kau injak. Cinta bunda tak mampu menahanmu untuk tetap di sini, kau harus pergi, melangkah, mencari ilmu sampai ke ujung dunia.
Bunda mengelus foto itu lagi. Butir-butir keringat yang membasahi ketika bersusah payah mengumpulkan uang kuliahmu sudah menguap. Tangisan-tangisan kepada Allah, memohon agar kau dimudahkan dalam seleksi penerimaan itu, berganti dengan sujud syukur yang panjang. Air mata bunda, yang menetes ketika kau mengeluhkan sulitnya soal-soal ujian yang kau terima, telah mengering. Bunda sungguh bangga padamu, Anakku.
Bunda sungguh mencintaimu.
Ingatkah kau di hari pengumuman itu, ayah membacakan surat pengumuman itu, lantas ia segera mencium pipimu? Sesungguhnya tak ada ungkapan lain yang lebih hebat yang ia bisa lakukan untuk menunjukkan kebanggaannya padamu.
Kau, lihatlah, Anakku, bersama ribuan generasi muda terbaik, berusaha mencari ilmu. “Bun, uang kakak habis.” Bunda mengirim uang lagi. “Bun, uang kos kakak naik.” Bunda mencari pinjaman uang lagi. “Bun, ada banyak diktat yang harus dikopi.” Bunda dan ayah memutar otak demi terpenuhinya kebutuhanmu. Berharap kau jadi anak yang berilmu dan kelak akan membantu kami di hari perhitungan.
Ketika kau pulang ke rumah, bunda tak sabar ingin memelukmu dan mengucapkan selamat datang di rumah mungil kita. Namun, kau malah membawa orang lain. Katamu, ia seseorang yang kau temui di perkuliahan sana. Lantas kau menghabiskan waktumu di rumah bersamanya, di rumah mungil kita. Lalu kau menyebut-nyebut kata ‘cinta’ di depannya.
Andai kau tahu bahwa cinta itu sesungguhnya bukan ikatan semu antara kau dan seseorang itu, Nak. Cinta itu adalah sesuatu yang mengkristal di hati bunda.
Anakku, maukah sejenak kau melihat bunda?
Melihat dengan sebenar-benarnya penglihatan?
Bukan hanya menunjukkan muka dengan tatapan terarah pada telepon genggam.
Melihat dengan sebenar-benarnya penglihatan?
Bukan hanya menunjukkan muka dengan tatapan terarah pada telepon genggam.
Pernahkah kau mengelus wajah bunda?
Wajah ini sudah keriput, anakku…
Wajah ini sudah keriput, anakku…
Tidakkah kau tahu, kau gadis kecil bunda telah tumbuh menjadi wanita yang memesona?
Tidakkah kau tahu, kau pahlawan kecil ayah telah tumbuh menjadi pemuda yang menawan?
Tapi kami, bunda dan ayah, sesungguhnya juga telah bertambah tua.
Badan kami sudah merintih ketika berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhanmu.
Tapi kami, bunda dan ayah, sesungguhnya juga telah bertambah tua.
Badan kami sudah merintih ketika berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhanmu.
Namun cinta ini sanggup mengalahkan keletihan itu semua.
Ketika bunda jatuh cinta,
pada dirimu, yang kini tengah dalam kesibukan yang luar biasa,
pada dirimu, yang kini tengah dalam kesibukan yang luar biasa,
“Kakak rapat ini, Bun”, “Kakak belajar kelompok ini, Bun”,
bunda menyelipkan doa agar ada waktu yang kau sisakan untuk bunda,
agar waktu sisa itu tidak ‘dicuri’ oleh seseorang yang bahkan tidak berani mengikatkan tali kekeluargaan antara kita dan keluarganya.
bunda menyelipkan doa agar ada waktu yang kau sisakan untuk bunda,
agar waktu sisa itu tidak ‘dicuri’ oleh seseorang yang bahkan tidak berani mengikatkan tali kekeluargaan antara kita dan keluarganya.
Bunda iri, sungguh iri.
Bunda jatuh cinta padamu, tapi kau lebih memilih orang lain.
Bunda jatuh cinta padamu, tapi kau lebih memilih orang lain.
Ketika bunda jatuh cinta,
pada dirimu, yang mungkin tidak pernah sadar akan cinta itu,
bunda tetap setia,
tidak pernah lelah mencintaimu, Anakku, meskipun kau terlalu naif mencerna kata cinta itu.
pada dirimu, yang mungkin tidak pernah sadar akan cinta itu,
bunda tetap setia,
tidak pernah lelah mencintaimu, Anakku, meskipun kau terlalu naif mencerna kata cinta itu.
Tidakkah kau ingin, Anakku, untuk sekali lagi, mengatakan “aku sayang ayah”, “aku sayang bunda”?
Tidakkah kau ingin, Anakku, untuk pertama dan terakhir kali, melihat wajah kami dengan sebenar-benarnya penglihatan?
Sebelum kau tidak dapat melihat wajah kami yang tak lama lagi akan tertimbun tanah…
Tidakkah kau ingin, Anakku, untuk pertama dan terakhir kali, melihat wajah kami dengan sebenar-benarnya penglihatan?
Sebelum kau tidak dapat melihat wajah kami yang tak lama lagi akan tertimbun tanah…
Ketika bunda jatuh cinta,
pada dirimu, Anakku,
maka bunda akan mencintai selamanya.
pada dirimu, Anakku,
maka bunda akan mencintai selamanya.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/
No comments:
Post a Comment