REPUBLIKA.CO.ID,oleh Azyumardi Azra
Kehebohan terjadi di kalangan publik kita menjelang akhir Juni lalu ketika lembaga Fund for Peace yang berpusat di Washington DC, AS, mengeluarkan Indeks Negara Gagal. Indonesia berada di peringkat ke-63 dari 178 negara di seluruh dunia. Dengan peringkat itu Indonesia berada dalam kategori warning, negara-negara yang perlu ‘awas’ karena sudah berada di tubir negara gagal. Kalangan nonpemerintah umum nya berpendapat Indonesia memang memperlihatkan sejumlah indikator untuk menjadi negara gagal.
Sementara itu, para pejabat tinggi peme rintah menolak jika Indonesia dikatakan kini ada di tubir negara gagal. Perbedaan pandangan ini bi sa dipahami karena jika Indonesia dikatakan mengarah menjadi negara gagal, berarti peme rintah tidak berhasil dalam berbagai programnya. Hasil survei mana pun selalu bisa dipersoalkan, baik dari segi metodologinya maupun hasilnya. Apalagi, jika sebagian masyarakat kita sendiri tidak merasa Indonesia sedang terjerumus menjadi negara gagal, kehidupan mereka sehari-hari berjalan biasa biasa saja.
Tetapi, agaknya perlu mempertimbangkan 12 indikator yang dipakai lembaga Fund for Peace un tuk mengukur Indeks Negara Gagal tersebut. Kita kemudian da pat melihat dan merasakan apa kah Indonesia mengarah menjadi negara gagal. Ada empat indikator dalam bidang sosial. Pertama, me muncaknya tekanan demografis. Dalam konteks Indonesia ini, berarti kian tidak terkendalinya pertumbuhan penduduk karena tidak berhasilnya program Keluarga Berencana dan makin menumpuknya penduduk di kota-kota atau wi layah tertentu.
Kedua, semakin masifnya jumlah pengungsi dan pelarian warga masyarakat tertentu dari ke diaman mereka, sehingga menciptakan situasi kemanusiaan darurat. Memang tidak ada pengungsi dalam jumlah masif di Tanah Air, tetapi masih terdapat kalangan masyarakat, seperti penganut Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang terusir dari kampung mereka.
Indikator sosial ketiga adalah meluasnya tindakan kekerasan balas dendam antara satu kelompok masyarakat dan kelompok lain. Indikator ini tampaknya kian meluas di kalangan masyarakat kita. Konflik dan kekerasan di antara berbagai kelompok masyarakat yang secara eufi mis tik disebut media sebagai ‘ormas’, yang se benarnya adalah organisasi semacam Pemuda Pancasila (PP), Forum Betawi Rembug (FBR) atau Forkabi, dan semacamnya.
Bisa juga termasuk ke dalam indikator ini adalah kekerasan antarwarga kampung atau satu suku dengan lainnya di Papua, atau kekerasan di antara kelompok eks GAM di Aceh.
Negara tidak atau belum berhasil menghentikan tindakan kekerasan balas dendam dan melindungi setiap dan seluruh warga dari aksi main hakim sendiri. Keempat, meningkatnya lingkungan kumuh di wilayah-wilayah miskin. Lingkungan kumuh di Jakarta, misalnya, di bawah jalan layang tol atau tanah kosong tertentu seolah tidak bisa diatasi pemerintah.
Sedangkan dua indikator dalam bidang ekonomi boleh jadi juga mencemaskan dalam batas tertentu. Keduanya adalah meningkatnya kesenjangan keadaan ekonomi di antara berbagai kelompok masyarakat dan sangat merosotnya ekonomi.
Jika kesenjangan ekonomi terlihat kian jelas dalam masyarakat kita, tetapi ekonomi Indonesia secara keseluruhan jauh daripada merosot. Sebaliknya, kelas menengah terus bertumbuh.
Dalam bidang politik, terdapat enam indikator. Pertama adalah kriminalisasi dan atau delegitimasi negara. Kedua, merosotnya pelayanan publik. Ketiga, penghentian atau penerapan hukum tertentu secara sewenang-wenang bersamaan dengan peningkatan pelanggaran HAM. Keempat, peningkatan operasi aparat keamanan yang bergerak seolah menjadi negara dalam negara. Kelima, peningkatan faksi-faksi politik yang terlibat konflik terus-menerus, dan keenam ialah peningkatan intervensi agen atau kekuatan politik eksternal.
Terlihat ada gejala pada indikator pertama, kedua, kelima, dan keenam dalam bidang politik kita. Faksionalisasi, kontestasi, dan konflik di antara berbagai kekuatan politik berbeda terlihat terus terjadi, yang pada gilirannya menciptakan suasana politik yang tidak kondusif bagi kehidupan berbangsa-bernegara. Sekali lagi, secara keseluruhan berbagai indikator, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik tersebut belum terlalu mencemaskan. Tetapi jelas, jika indikator-indikator tidak menggembirakan tersebut tidak diperbaiki secara serius, bukan tidak mungkin Indonesia betul-betul terjerumus menjadi negara gagal.
Redaktur: M Irwan Ariefyanto
Sumber: resonansi
No comments:
Post a Comment