REPUBLIKA.CO.ID, Berita tentang tertangkapnya tiga pasang muda-mudi berusia belasan tahun dalam kondisi tanpa busana di salah satu warnet di Semarang, Jawa Tengah, menambah panjang kasus perbuatan asusila remaja di negeri ini.
Kasus yang terungkap ke publik melalui media massa sepertinya hanyalah puncak dari gunung es. Tanpa bantuan yang tepat dari orang tua, masyarakat, pelaku bisnis, dan pemerintah, bukan mustahil makin banyak lagi anak-anak yang menjadi korban.
Kasus seperti itu mulai terdengar sekitar 12 tahun lalu ketika warnet mulai bertumbuhan di sekitar kampus dan makin marak sejak era mobile internet. Persoalannya tentu bukan semata tentang bisnis warnet dengan bilik-bilik berpintu dan pengelola yang tutup mata atau pemberian ponsel cerdas pada anak.
Akses internet yang semakin mudah tanpa dibarengi dengan pendampingan dari orang tualah yang menjadi akar masalahnya.
Apa pun yang ingin dicari anak ada di dunia maya. Entah itu materi pendidikan, konten pornografi, atau bahkan tutorial perakitan bom. Lebih peliknya lagi, kendati sudah diblokir, selalu saja ditemukan celah baru untuk mengakses konten berbahaya tersebut.
Secara global, penutupan situs pornografi dan penangkapan terhadap pelaku hanya akan terjadi jika ada laporan dari masyarakat. Ironisnya, pemerintah di berbagai belahan dunia tak memiliki sumber daya yang memadai untuk mengkaji laporan tersebut.
Pemblokiran situs film seks gratis belum cukup untuk menjauhkan anak dari bahaya pornografi. Gerakan Jangan Bugil di Depan Kamera yang telah bergulir sejak tahun 2007 pun tak sanggup melawan derasnya godaan pornografi dan pornoaksi. Lantas, apa yang kurang?
Anak-anak terus bertumbuh dan berkembang. Tanpa adanya pendampingan dari orang tua, anak ibarat masuk ke belantara maya lengkap dengan aneka predatornya. Rusaknya tatanan sosial itu merupakan alarm bagi orang tua untuk menjamin keamanan anaknya ketika mereka sedang online.
Sebelum 'menghakimi' anak, marilah berkaca. Pola pikir seperti apa yang telah orang tua dan orang dewasa lainnya perkenalkan hingga tertanam sedemikian salahnya di benak anak. Dalam hal ini, anak adalah korban dari kekeliruan pengasuhan oleh orang tua, pendidik, dan elemen masyarakat lainnya. Untuk itu, para pihak harus bekerja sama.
Mengutip kesimpulan dari ratusan penelitian di Inggris, psikolog forensik Miranda Horvath mengingatkan pornografi erat kaitannya dengan perilaku yang tidak realistis terhadap hubungan seks.
Penelitian lain menyebutkan pornografi membuat berkembangnya kepercayaan bahwa perempuan adalah objek seks dan memicu orang untuk sering memikirkan seks.
Anak dan muda-mudi yang menyaksikan pornografi cenderung untuk menunjukkan perilaku gender yang kurang progresif. Anak bisa tumbuh menjadi individu yang rendah kepercayaan dirinya lantaran memiliki anggapan citra tubuh yang keliru.
Dalam wawancaranya dengan Republika, psikolog Elly Risman sering mengingatkan orang tua untuk membekali anandanya dengan pendidikan seks dan seksualitas sesuai dengan tahapan usia anak. Dengan begitu, kesadaran anak akan terbangun. Anak akan mengenal, menghargai, dan menjaga tubuhnya, termasuk organ intimnya, karena itu merupakan bagian dari harga dirinya.
Orang tua juga perlu menggugah kesadaran anak dengan menceritakan betapa indahnya aturan Islam tentang hubungan seksual. Seks adalah salah satu bagian yang mempermanis hubungan laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan. Dengan cara inilah anak mendapatkan alternatif cara berpikir yang sehat mengenai hubungan seksual.
Tentunya, itu tak akan sama seperti hasil pencarian mereka di situs-situs pornografi atau seperti yang dikabarkan oleh sebayanya. Ketika kesadaran sudah tertanam, anak tak akan mudah tergoda untuk merusak dirinya dengan perilaku yang melanggar norma sosial dan agama. Kesadaran untuk menghargai diri juga dapat menuntun mereka untuk menjauhi perilaku negatif, apa pun bentuknya.
No comments:
Post a Comment